Juni 16, 2015

Dunia Gema

"laraning lara..ora kaya wong kang nandang bronto..."

Sayup sayup masih terdengar suara sinden yang menyanyikan lagu jawa favorit bapak. Aku semakin didera rasa sesal yang dalam. Kepulanganku kali ini semakin menambah rinduku pada bapak yang sudah tenang disana. Ini kepulangan pertama setelah lima tahun aku meninggalkan Semarang untuk merantau ke Jakarta. Bukan jarak yang jauh sebenarnya,Jakarta-Semarang bisa ditempuh hanya dalam waktu tujuh jam saja kalau aku mau. Tapi bagiku, pulang ke Semarang adalah hal besar. Selalu ada rasa bersalah luar biasa di setiap kepulanganku, termasuk kali ini.

Jika ada aktor yang layak mendapat piala oscar sepanjang tahun, akulah orangnya. Aku pemain sandiwara yang ulung. Mau tahu buktinya? aku berhasil mengelabui ibu dan Dian, calon tunangan yang dipilihkan ibu untukku. Dian adalah dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Tinggi semampai, kulit putih, berkerudung, sopan, pandai memasak, pintar, dan ibuku sangat menyukainya. Dianlah yang digadang-gadangnya untuk menjadi pendampingku. Ibu sungguh berselera tinggi dalam memilih calon menantu.

***
"sayang,cepat kembali ya ke jakarta, aku kangen. kiss"
sebaris pesan singkat yang dia tulis untukku membuatku merinding, membayangkannya di pelukanku, ah.. darahku berdesir pelan. Aku mendial nomor yang sudah kuhafal diluar kepala, dua kali nada sambung dan langsung ada jawaban..
"sayang, masih lama di Semarang?sampai kapan?"suaranya merajuk, membuatku bergidik rindu.
"belum tau, ibu masih ingin aku disini, lagipula ini baru hari pertama, sabar ya, di Jakarta kan kamu memilikiku sepenuhnya?"
"iya aku tau, tapi aku tidak terbiasa tanpa kamu, aku tidak bisa tidur sendirian hon.."
"sabar ya, nanti aku telpon lagi, see u my strawberry, i love u, "
Aku buru-buru menutup telpon ketika mendengar suara langkah kaki mendekati kamarku. Aku sungguh tidak mau ibu atau siapapun mendengar percakapanku dengannya. Orang yang kukasihi dan sangat kusayangi setidaknya.. dalam duniaku.

"Le... besok kita kerumah Dian ya, ibu mau sowan ke keluarganya, mumpung kamu pulang, sekalian mau ngomongin rencana pernikahan."
"Pernikahan apa bu?" aku sontak tergagap, aku tidak menyangka ibu akan secepat ini mengambil keputusan untuk menikahkanku dengan Dian, aku bahkan belum mencoba untuk belajar mencintai wanita itu. Aku...ah sial!!
"Kok pernikahan apa to? ya pernikahan kamu, dengan Dian, biar Dian bisa segera pindah untuk menemanimu di Jakarta." ibu bersikeras
"Tapi saya belum siap bu, saya..." seandainya saja aku sanggup mengatakan pada ibu tentang perasaanku yang sebenarnya, tentang apa yang terjadi padaku, dan ah sial. Aku memang pecundang yang pengecut.

***

"Sayaang... rinduuu.." dia berlari menerjangku, kuciumi dia, rinduku sudah meluber kemana-mana, satu minggu penuh siksa sudah kulewati, aku kembali ke Jakarta. Persoalan dengan ibu dan Dian kubiarkan mengambang. Aku akan menyetujui permintaan ibu untuk menikahi Dian. Ah tapi adilkah itu baginya? Lalu bagaimana dengan kehidupanku disini? Jika Dian memutuskan pindah ke Jakarta setelah pernikahan, masih bisakah aku merahasiakan semua ini?aaahhh... sial.

Peluh masih membasahi tubuh kami. Aku dan orang yang sangat kucintai. Dia tertidur pulas di dadaku. Ah darahku berdesir desir lagi. Sosoknya tak pernah bisa membuatku berpaling hati. Demi dia, kukhianati ibu dan Dian. Tuhan... dosaku memang sungguh tak terampuni. Tapi tak bisakah kami direstui?

... bersambung...

Tidak ada komentar: